Surabaya Sebelum kedatangan Belanda
Surabaya dulunya merupakan
gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi Kota
Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31 Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan
hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan
kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut
digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani) dan pasukan Raden Wijaya yang
datang dari darat digambarkan sebagai BOYO (buaya/bahaya), jadi secara harfiah diartikan
berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu
diperingati sebagai hari jadi Surabaya.
Pada abad ke-15, Islam
mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota Wali Songo,
Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di daerah Ampel. Tahun 1530,
Surabaya menjadi bagian dari Kerajaan Demak.
Menyusul runtuhnya Demak,
Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram, diserbu Panembahan
Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak
tahun 1610, diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran sungai Brantas
oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Suatu tulisan VOC tahun
1620 menggambarkan Surabaya sebagai negara yang kaya dan berkuasa. Panjang
lingkarannya sekitar 5 mijlen Belanda (sekitar 37 km), dikelilingi kanal dan
diperkuat meriam. Tahun tersebut, untuk melawan Mataram, tentaranya sebesar 30
000 prajurit[1].
Tahun 1675, Trunojoyo dari
Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada tahun 1677.
Dalam perjanjian antara
Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan
penguasaannya kepada VOC.
Kedatangan Belanda
Pada zaman Hindia-Belanda,
Surabaya berstatus sebagai ibukota Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga
mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan
Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mendapat status Kotamadya (Gemeente). Pada
tahun 1926, Surabaya ditetapkan sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Sejak itu
Surabaya berkembang menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia-Belanda
setelah Batavia.
Sebelum tahun 1900, pusat
kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja. Sampai tahun
1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan
Ketabang. Pada tahun 1917 dibangun fasilitas pelabuhan modern di Surabaya.
Tanggal 3 Februari 1942,
Jepang menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil
merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Sekutu pada
tanggal 17 Mei 1944.
Pertempuran 10November
Setelah Perang Dunia II
usai, pada 25 Oktober 1945, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi
23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di
Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi
Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan
tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi
dan lebih dari 20000 pasukan Indonesia menolak.
26 Oktober 1945, tercapai
persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby
bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka.
Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan
markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip
Christison.
27 Oktober 1945, jam 11.00
siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya
yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan
senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca
selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal
26 Oktober 1945.
28 Oktober 1945, pasukan
Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari
kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan
panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk
pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.
29 Oktober 1945, Presiden
Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap
bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.
Pada siang hari, 30
Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI
Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah
diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur
dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan
Surabaya dan kembali ke Jakarta.
Pada sore hari, 30 Oktober
1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya
untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan
Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby
dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.
Karena mengira komandannya
akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K.
Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi
mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio
dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan
granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil
Brigjen Mallaby.
Granat meledak dan mobil
terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang
diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di
Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.
Letjen Sir Philip
Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan
24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.
9 November 1945, Inggris
menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera
diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.
10 November 1945, Inggris
mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10
hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang
Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan
harinya.
20 November 1945, Inggris
berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih
dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota
Surabaya hancur lebur.
Pertempuran ini merupakan
salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade
1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Karena sengitnya
pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan
Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh
pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang
dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
0 komentar:
Posting Komentar